Setelah dibubarkannya RIS, sejak tahun 1950 Indonesia melaksanakan demokrasi parlementer yang disebut Masa Demokrasi Liberal. Pada saat itu Indonesia dibagi manjadi 10 Provinsi yang mempunyai otonomi dan berdasarkan Undang – undang Dasar Sementara tahun 1950. Akibat pelaksanaan konstitusi tersebut, pemerintahan RI dijalankan oleh suatu dewan menteri (kabinet) yang dipimpin oleh seorang perdana menteri dan bertanggung jawab kepada parlemen (DPR). Demokrasi Liberal berlangsung selama hampir 9 tahun. Pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengumumkan dekrit mengenai pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 serta tidak berlakunya UUDS 1950 karena dianggap tidak cocok dengan keadaan ketatanegaraan Indonesia.
1. Sistem Pemerintahan
Masa demokrasi parlementer merupakan masa berjayanya partai-partai politik pada pemerintahan Indonesia. Pada masa ini terjadi pergantian kabinet, partai-partai politik terkuat mengambil alih kekuasaan. PNI dan Masyumi merupakan partai yang terkuat dalam DPR, dan dalam waktu lima tahun (1950 -1955) PNI dan Masyumi silih berganti memegang kekuasaan dalam empat kabinet. Sistem kabinet masa ini berbeda dengan sistem kabinet RIS yang dikenal sebagai Zaken Kabinet. Adapun susunan kabinetnya sebagai berikut;
a. Kabinet Natsir (6 September 1950 - 21 Maret 1951)
Kabinet yang dilantik pada tanggal 7 September 1950 dengan Mohammad Natsir (Masyumi) sebagai perdana menteri. Kabinet ini merupakan kabinet koalisi di mana PNI sebagai partai kedua terbesar dalam parlemen tidak turut serta. Kabinet ini kuat formasinya di mana tokoh – tokoh terkenal duduk di dalamnya, seperti Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Mr.Asaat, Ir.Djuanda, dan Prof Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo.
Kendala yang dihadapi oleh kabinet ini adalah dalam memperjuangkan Irian Barat mengalami kebuntuan, dan terjadi pemberontakan hampir di seluruh wilayah Indonesia, seperti Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan APRA, Gerakan RMS. Keberhasilan Kabinet Natsir adanya perundingan antara Indonesia-Belanda untuk pertama kalinya mengenai masalah Irian Barat.
Kabinet yang dilantik pada tanggal 7 September 1950 dengan Mohammad Natsir (Masyumi) sebagai perdana menteri. Kabinet ini merupakan kabinet koalisi di mana PNI sebagai partai kedua terbesar dalam parlemen tidak turut serta. Kabinet ini kuat formasinya di mana tokoh – tokoh terkenal duduk di dalamnya, seperti Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Mr.Asaat, Ir.Djuanda, dan Prof Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo.
Kendala yang dihadapi oleh kabinet ini adalah dalam memperjuangkan Irian Barat mengalami kebuntuan, dan terjadi pemberontakan hampir di seluruh wilayah Indonesia, seperti Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan APRA, Gerakan RMS. Keberhasilan Kabinet Natsir adanya perundingan antara Indonesia-Belanda untuk pertama kalinya mengenai masalah Irian Barat.
Berakhirnya kekuasaan kabinet disebabkan oleh adanya mosi tidak percaya dari PNI menyangkut pencabutan Peraturan Pemerintah mengenai DPRD dan DPRDS. PNI menganggap peraturan pemerintah No. 39 th 1950 mengenai DPRD terlalu menguntungkan Masyumi. Mosi tersebut disampaikan kepada parlemen tanggal 22 Januari 1951 dan memperoleh kemenangan, sehingga pada tanggal 21 Maret 1951 Natsir harus mengembalikan mandatnya kepada Presiden.
b. Kabinet Sukiman (27 April 1951 – 3 April 1952)
Setelah Kabinet Natsir mengembalikan mandatnya pada presiden, Presiden Soekarno kemudian menunjukan Sidik Djojosukatro (PNI) dan Soekiman Wijosandjojo (Masyumi) sebagai formatur dan berhasil membentuk kabinet koalisi dari Masyumi dan PNI. Kabinet ini terkenal dengan nama Kabinet Soekiman ( Masyumi )-Soewirjo ( PNI ) yang dipimpin oleh Soekiman.
Kendala/Masalah yang dihadapi oleh kabinet ini yaitu adanya Pertukaran Nota Keuangan antara Mentri Luar Negeri Indonesia Soebardjo dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle Cochran. Mengenai pemberian bantuan ekonomi dan militer dari pemerintah Amerika kepada Indonesia berdasarkan ikatan Mutual Security Act (MSA).
Hubungan Sukiman dengan militer kurang baik karena kurang tegasnya tindakan pemerintah menghadapi pemberontakan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan. DPR akhirnya menggugat Sukiman dan terpaksa Sukiman harus mengembalikan mandatnya kepada presiden karena adanya pertentangan dari Masyumi dan PNI.
c. Kabinet Wilopo (3 April 1952 – 3 Juni 1953)
Presiden Soekarno menunjuk Wilopo dari PNI sebagai formatur dan berhasil dibentuk kabinet baru di bawah pimpinan Perdana Mentari Wilopo, sehingga bernama kabinet Wilopo. Kabinet ini mendapat dukungan dari PNI, Masyumi, dan PSI.
Banyak sekali kendala yang muncul antara lain sebagai berikut; adanya kondisi krisis ekonomi, terjadi defisit kas negara, munculnya gerakan sparatisme dan sikap provinsialisme yang mengancam keutuhan bangsa, terjadi peristiwa 17 Oktober 1952 yang menempatkan TNI sebagai alat sipil, munculnya masalah intern dalam TNI sendiri.
Banyak sekali kendala yang muncul antara lain sebagai berikut; adanya kondisi krisis ekonomi, terjadi defisit kas negara, munculnya gerakan sparatisme dan sikap provinsialisme yang mengancam keutuhan bangsa, terjadi peristiwa 17 Oktober 1952 yang menempatkan TNI sebagai alat sipil, munculnya masalah intern dalam TNI sendiri.
Konflik semakin diperparah dengan adanya peristiwa Tanjung Morawa mengenai persoalan tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli). Peristiwa bentrokan yang melibatkan aparat kepolisian dengan para petani liar mengenai persoalan tanah perkebunan. Akibat peristiwa Tanjung Morawa muncullah mosi tidak percaya dari Serikat Tani Indonesia terhadap kabinet Wilopo. Sehingga Wilopo harus mengembalikan mandatnya pada presiden pada tanggal 2 Juni 1953.
d. Kabinet Alisastro Amijoyo I (31 Juli 1953 – 12 Agustus 1955)
Kabinet Ali Sastroamidjojo,yang terbentuk pada tanggal 31 juli 1953. Kabinet Ali ini mendapat dukungan yang cukup banyak dari berbagai partai yang diikutsertakan dalam kabinet, termasuk partai baru NU. Kabinet Ali ini dengan Wakil perdana Menteri Mr. Wongsonegoro (partai Indonesia Raya PIR).
Hasil atau prestasi yang berhasil dicapai oleh Kabinet Ali Sastroamijoyo I yaitu; Persiapan Pemilihan Umum yang akan diselenggarakan pada 29 September 1955, menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika tahun 1955.
Kabinet Ali Sastroamidjojo,yang terbentuk pada tanggal 31 juli 1953. Kabinet Ali ini mendapat dukungan yang cukup banyak dari berbagai partai yang diikutsertakan dalam kabinet, termasuk partai baru NU. Kabinet Ali ini dengan Wakil perdana Menteri Mr. Wongsonegoro (partai Indonesia Raya PIR).
Hasil atau prestasi yang berhasil dicapai oleh Kabinet Ali Sastroamijoyo I yaitu; Persiapan Pemilihan Umum yang akan diselenggarakan pada 29 September 1955, menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika tahun 1955.
Menghadapi masalah keamanan di daerah yang belum juga dapat terselesaikan, seperti DI/TII di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh. Terjadi peristiwa 27 Juni 1955 suatu peristiwa yang menunjukkan adanya kemelut dalam tubuh TNI-AD. Keadaan ekonomi yang semakin memburuk, maraknya korupsi, dan inflasi yang menunjukkan gejala membahayakan. Memudarnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah. Munculnya konflik antara PNI dan NU yang menyebabkkan, NU memutuskan untuk menarik kembali menteri-mentrinya pada tanggal 20 Juli 1955 yang diikuti oleh partai lainnya. Nu menarik dukungan dan menterinya dari kabinet sehingga keretakan dalam kabinetnya inilah yang memaksa Ali harus mengembalikan mandatnya pada presiden pada tanggal 24 Juli 1955.
e. Kabinet Burhanudin Harahap (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956)
Kabinet Burhanuddin Harahap berasal dari Masyumi., sedangkan PNI membentuk oposisi dan dibentuk tanggal 11 Agustus 1955. Kabinet Burhanuddin Harahap mempunyai tugas penting untuk menyelenggarakan pemilihan umum. Tugas tersebut berhasil dilaksanakan, meskipun harus melalui rintangan-rintangan yang berat. Pada tanggal 27 September 1955 pemilihan umum untuk memilih anggota parlemen berhasil dilangsungkan dan pemilihan anggota Dewan Konstituante dilakukan pada 15 Desember 1955.
Kabinet Burhanuddin. Kendala/ Masalah yang dihadapi oleh kabinet ini adalah banyaknya mutasi dalam lingkungan pemerintahan dianggap menimbulkan ketidaktenangan. Dengan berakhirnya pemilu maka tugas kabinet Burhanuddin dianggap selesai. Pemilu tidak menghasilkan dukungan yang cukup terhadap kabinet sehingga kabinetpun jatuh. Akan dibentuk kabinet baru yang harus bertanggungjawab pada parlemen yang baru pula.
f. Kabinet Alisatsro Amijoyo II (20 Maret 1956 – 4 Maret 1957)
Ali Sastroamijoyo kembali diserahi mandate untuk membentuk kabinet baru pada tanggal 20 Maret 1956. Kabinet ini merupakan hasil koalisi 3 partai yaitu PNI, Masyumi, dan NU. Hasil atau prestasi yang berhasil dicapai oleh Kabinet Ali Sastroamijoyo II adalah kabinet ini mendapat dukungan penuh dari presiden dan dianggap sebagai titik tolak dari periode planning and investment, hasilnya adalah Pembatalan seluruh perjanjian KMB.
Kendala/ Masalah yang dihadapi oleh kabinet ini sebagai berikut. Berkobarnya semangat anti Cina di masyarakat. Muncul pergolakan / kekacauan di daerah yang semakin menguat dan mengarah pada gerakan sparatisme dengan pembentukan dewan militer Pembatalan KMB oleh presiden menimbulkan masalah baru khususnya mengenai nasib modal pengusaha Belanda di Indonesia. Timbulnya perpecahan antara Masyumi dan PNI. Mundurnya sejumlah menteri dari Masyumi membuat kabinet hasil Pemilu I ini jatuh dan menyerahkan mandatnya pada presiden.
G. Kabinet Djuanda ( 9 April 1957- 5 Juli 1959)
Kabinet ini merupakan zaken kabinet yaitu kabinet yang terdiri dari para pakar yang ahli dalam bidangnya. Dipimpin oleh Ir.Juanda. Program pokok dari Kabinet Djuanda adalah Programnya disebut Panca Karya yaitu : Membentuk Dewan Nasional, Normalisasi keadaan RI, Melancarkan pelaksanaan Pembatalan KMB, Perjuangan pengembalian Irian Jaya, dan Mempergiat/mempercepat proses Pembangunan
Hasil atau prestasi yang berhasil dicapai oleh Kabinet Djuanda yaitu mengatur kembali batas perairan nasional Indonesia melalui Deklarasi Djuanda, Mengadakan Musyawarah Nasional (Munas) untuk meredakan pergolakan di berbagai daerah. Kendala/ Masalah yang dihadapi oleh kabinet ini sebagai berikut.
Kegagalan Menghadapi pergolakan di daerah sebab pergolakan di daerah semakin meningkat. Keadaan ekonomi dan keuangan yang semakin buruk sehingga program pemerintah sulit dilaksanakan. Krisis demokrasi liberal mencapai puncaknya, terjadi peristiwa Cikini. Kabinet Djuanda berakhir saat presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan mulailah babak baru sejarah RI yaitu Demokrasi Terpimpin.
Akhir Masa Demokrasi Liberal di Indonesia.
Kekacauan politik ini membuat keadaan negara menjadi dalam keadaan darurat. Hal ini diperparah dengan Dewan Konstituante yang mengalami kebuntuan dalam menyusun konstitusi baru. Dengan kegagalan konstituante mengambil suatu keputusan, maka sebagian aanggotanya menyatakan tidak akan menghadiri siding konstituante lagi. Sampai tahun 1959 Konstituante tidak pernah berhasil merumuskan UUD baru. Keadaan itu semakin mengguncang situasi politik Indonesia saat itu.
Dalam situasi dan kondisi seperti itu, beberapa partai politik mengajukan usul kepada Presiden Soekarno agar mendekritkan berlakunya kembali UUD 1945 dan pembubaran Konstituante. Oleh karena itu pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang berisi sebagai berikut : Pembubaran Konstituante, Berlakunya kembali UUD 1945, Tidak berlakunya UUDS 1950, dan Pembentukan MPRS dan DPAS. Setelah keluarnya dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan tidak diberlakukannya lagi UUDS 1950, maka secara otomatis sistem pemerintahan Demokrasi Liberal tidak berlaku lagi di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar