Konfrontasi Indonesia-Malaysia adalah sebuah perang mengenai masa depan Malaya, Brunei, Sabah dan Sarawak yang terjadi antara Federasi Malaysia dan Indonesia pada tahun 1962 hingga 1966. Masalah Malaysia berawal dari munculnya keinginan Tengku Abdul Rahman dari persekutuan Tanah Melayu dan Lee Kuan Yu dari Republik Singapura untuk menyatukan kedua negara tersebut menjadi Federasi Malaysia. Rencana pembentukan Federasi Malaysia mendapat tentangan dari Filipina dan Indonesia. Filipina menentang karena memiliki keinginan atas wilayah Sabah di Kalimantan Utara. Filipina menganggap bahwa wilayah Sabah secara historis adalah milik Sultan Sulu.
Pemerintah Indonesia pada saat itu menentang karena menurut Presiden Soekarno pembentukan Federasi Malaysia merupakan sebagian dari rencana Inggris untuk mengamankan kekuasaanya di Asia Tenggara. Pembentukan Federasi Malaysia dianggap sebagai proyek Neokolonialisme Inggris yang membahayakan revolusi Indonesia. Oleh karena itu, berdirinya negara federasi Malaysia ditentang oleh pemerintah Indonesia.
Untuk meredakan ketegangan di antara tiga negara tersebut kemudian diadakan Konferensi Maphilindo (Malaysia, Philipina dan Indonesia) di Filipina pada tanggal 31 Juli-5 Agustus 1963. Hasil-hasil pertemuan puncak ketiga kepala pemerintahan berusaha mengadakan penyelesaian secara damai dan sebaik-baiknya mengenai rencana pembentukan Federasi Malaysia yang menjadi sumber sengketa. Konferensi Maphilindo menghasilkan tiga dokumen penting, yaitu Deklarasi Manila, Persetujuan Manila dan Komunike Bersama. Inti pokok dari tiga dokumen tersebut adalah Indonesia dan Filipina menyambut baik pembentukan Federasi Malaysia jika rakyat Kalimantan Utara menyetujui hal itu.
Ketiga kepala pemerintahan setuju untuk meminta Sekjen PBB untuk melakukan pendekatan terhadap persoalan ini. Kemudian ketiga kepala pemerintahan tersebut meminta Sekjen PBB membetuk tim penyelidik. Menindaklanjuti permohonan ketiga pimpinan pemerintahan tersebut, Sekretaris Jenderal. PBB membetuk tim penyelidik yang dipimpin oleh Lawrence Michelmore. Tim tersebut memulai tugasnya di Malaysia pada tanggal 14 September 1963.
Namun sebelum misi PBB menyelesaikan tugasnya dan melaporkan hasil kerjanya, Federasi Malaysia diproklamasikan pada tanggal 16 September 1963. Pemerintah RI menganggap proklamasi tersebut sebagai pelecehan atas martabat PBB dan pelangggaran Komunike Bersama Manila, yang secara jelas menyatakan bahwa penyelidikan kehendak rakyat Sabah dan Serawak harus terlebih dahulu dilaksanakan sebelum Federasi Malaysia diproklamasikan.
Presiden Soekarno tidak dapat menerima tindakan yang dilakukan oleh PM Tengku Abdul Rahman. Aksi-aksi demonstrasi menentang terjadi di Jakarta yang dibalas pula dengan aksi-aksi demontrasi besar terhadap kedutaan RI di Kuala Lumpur, sehingga pada tanggal 17 September 1963, hubungan diplomatik Indonesia Malaysia diputuskan. Pemerintah RI pada tanggal 21 September memutuskan pula hubungan ekonomi dengan Malaya, Singapura, Serawak dan Sabah. Pada akhir tahun 1963 pemerintah RI menyatakan dukungannya terhadap perjuangan rakyat Kalimantan Utara dalam melawan Neokolonilisme Inggris.
Pemerintah Amerika Serikat, Jepang dan Thailand berusaha melakukan mediasi menyelesaikan masalah ini. Namun masalah pokok yang menyebabkan sengketa dan memburuknya hubungan ketiga negara tersebut tetap tidak terpecahkan, karena PM Federasi Malaysia, Tengku Abdul Rahman tidak menghadiri forum pertemuan tiga negara.
Upaya lainnya adalah melakukan pertemuan menteri-menteri luar negeri Indonesia, Malaysia dan Filipina di Bangkok. Namun pertemuan Bangkok yang dilakukan sampai dua kali tidak menghasilkan satu keputusan yang positif.
Ditengah kemacetan diplomasi itu pada 3 Mei 1964 Presiden Soekarno mengucapkan Dwi Komando Rakyat (Dwi Kora) di hadapan apel besar sukarelawan. Komando Siaga dengan Marsekal Madya Oemar Dani sebagai Panglimanya. Komando ini berisi dua hal:
- Perhebat ketahanan revolusi Indonesia.
- Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sabah, Serawak, dan Brunei. .
Walaupun pemerintah Indonesia telah memutuskan melakukan konfrontasi secara total, namun upaya penyelesaian diplomasi terus dilakukan. Presiden RI menghadiri pertemuan puncak di Tokyo pada tanggal 20 Juni 1964.
Ditengah berlangsungnya Konfrontasi Malaysia dicalonkan menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Kondisi ini mendorong pemerintah Indonesia mengambil sikap menolak pencalonan Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Sikap Indonesia ini langsung disampaikan Presiden Soekarno pada pidatonya tanggal 31 Desember 1964.
Keluarnya Indonesia dari PBB adalah karena masuknya Malaysia menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Ketika tanggal 7 Januari 1965 Malaysia dinyatakan diterima sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, dengan spontan Presiden Sokearno menyatakan “Indonesia keluar dari PBB”.
Walaupun Indonesia sudah keluar dari PBB, sasaran-sasaran yang ingin dicapai oleh pemerintah Indonesia terkait sengketa Indonesia Malaysia dan perombakan PBB tetap tidak tercapai. Karena dengan keluarnya Indonesai dari PBB, Indonesia kehilangan satu forum yang dapat digunakan untuk mencapai penyelesaian persengketaan dengan Malaysia secara damai.
Pada akhir 1965 Jendral Soeharto yang saat itu memegang kekuasaan di Indonesia setelah berlangsungnya G30S/PKI. Oleh karena konflik domestik ini, keinginan Indonesia untuk meneruskan perang dengan Malaysia menjadi berkurang dan peperangan pun mereda. Pada 28 Mei 1966 di sebuah konferensi di Bangkok, Kerajaan Malaysia dan pemerintah Indonesia mengumumkan penyelesaian konflik. Kekerasan berakhir bulan Juni, dan perjanjian perdamaian ditandatangani pada 11 Agustus dan diresmikan dua hari kemudian.